Kritik dan Saran silahkan kirim pesan ke" bayz.pabayo@gmail.com "

Respons Imunitas Tubuh Terhadap Parasit

Pendahuluan
Parasit-parasit yang menyerang manusia dapat dibagi atas dua grup, yaitu organisme pnotozoa dan organisme metazoa, seperti Cestode, Trematode dan Nematode. Kedua golongan ini, selain berbeda dalam hal morfologinya, berbeda pula dalam hal tingkat dan derajat kelainan patologiknya, serta respons imunologik yang bangkit karenanya. Infeksi dengan protozoa, biasanya bensifat intraseluler pada tahap-tahap penyenangan jaringan (" tissue-invading") daripada organisme tersebut. Mereka dengan segena, ia bermultiplikasi didalam . sel-sel dan jaringan hospes, sehingga penyakit yang timbul berkembang amat cepat. Sebaliknya, golongan metazoa terutama bersifat ekstraseluler, dan biasanya tidak bermultiplikasi didalam hospes definitif. Akibatnya maka penyakit yang timbul lebih bersifat kronis dan simtom-simtomnya lebih bersifat non-spesifik. Respons imunitas humoral lebih terbangkit apabila parasit berada dalam bentuk atau tahap ekstraseluler dan/atau berada dalam sirkulasi darah (sistemik). Sebaliknya, bila parasit berada dalam bentuk intraseluler, maka respons imun yang bangkit adalah sistem imunitas seluler. Lain hal yang perlu diperhatikan, ialah bahwa parasit-parasit golongan metazoa lebih menyebabkan timbulnya reaksi hipersensitivitas tipe cepat, dan tanda-tanda eosinofilia yang jelas terlihat pada infeksi parasit jenis ini. Keadaan ini disebabkan karena peranan imunitas humoraI, yaitu mekanisme yang dibawakan oleh IgM.

Seperti telah diutarakan, maka kekebalan terhadap infeksi dengan parasit merupakan gabungan antara "innate immunity "dengan "naturally acquired immunity". Manifestasi imunitas dapat beroperasi lewat dua jalan, yaitu :

 l. Sebagian mempengaruhi parasit secara langsung, misalnya :
a. Mencegah penetrasi parasit, sehingga infeksi dapat dicegah.
b. Menghambat perkembangan parasit, sehingga tetap dalam suatu tahap tertentu. Imunitas semacam ini harus terus menerus berfungsi, sebab telah dibuktikan pada parasit Nippostrongylus brasiliensis, bila imunitas menurun atau parasit dipindahkan ke hospes yang non-imun, maka siklus parasit yang tadinya benhenti akan berlanjut lagi.
c. Menghambat migrasi parasit pada jaringan, misalnya seperti yang terjadi pada parasit Ascaris, maka migrasi ke paru dapat ditekan secara lengkap.
d. Memperlambat migrasi, sehingga parasit diperlambat mencapai "Final site"nya, sepenti halnya parasit Schistosoma yang berlama-lama di daerah sirkulasi intrahepatik.
e. Mencegah panasit bermultiplikasi, sehingga penyebaran infeksi dapat ditekan.
f. Menghalangi terjadinya parasitemia,sehingga dengan demikian parasit tidak diedarkan ke seluruh tubuh lewat jalan sistemik.
G.Menimbulkan perubahan terhadap komponen structural maupun fisiologik, seperti timbulnya antibodi terhadap enzim-enzim lipase dan pnotease pada glandula esophagus cacing tambang.

 2. Sebagian mempengaruhi parasit secara tidak langsung, yaitu dengan jalan mengubah pengaruh panasit terhadap hospesnya, sehingga benakhir dengan penurunan morbiditas dan mortalitas. Bila "acquired immunity" dapat timbul, maka ekspresinya tidaklah sampai kepada pengeluaran panasit secana total, oleh karena itu imunitas pada penyakit parasit seringkali "Sterile immunity". Yang lebih menonjol peranan imunologik pada infeksi dengan parasit ini ialah bahwa ia lebih berfungsi untuk mengontrol jumlah parasit dalam batas-batas patogenik yang rendah, serta mencegah timbulnya hiperinfeksi dan/atau reinfeksi. Adanya keseimbangan antara parasit dengan respons imun ini ternyata menupakan keadaan yang penting, dan hal inipun benlaku pada keadaan dimana kita harus memberikan terapi pada penyakit parasit. Sebab bila pengobatan dilakukan secara
radikal, maka tubuh akan kehilangan rangsangan antigen asing yang dipresentasikan parasit bila masih "tertinggal " di dalam tubuh .
Seperti telah diutarakan,maka parasit mengandung berbagai macam antigen, baik somatik maupun metabolik, sebagian dapat dikategorikan sebagai "stage specific" dan bersifat sementara, sedangkan lainnya bersifat lebih permanen sehingga dapat menginduksi respons imun yang agak divergen. Respons imunitas ini akan lebih kompleks lagi dengan adanya kenyataan bahwa banyak parasit mempunyai keantigenan yang mirip, tidak saja dengan parasit lain, tetapi juga dengan antigen hospes itu sendiri, Dengan keantigenan yang kompleks ini, maka tidaklah mengherankan kalau respons imunitas humoral dan Simposium Masalah Penyakit Parasit seluler dapat bangkit karenanya. Oleh karena itu pula, infeksi oleh satu macam parasit dapat merupakan efek imuno-potensiasi terhadap organisme parasit lain. Yang merupakan masalah bagi para Sarjana ialah adanya kenyataan bahwa walaupun respons imunitas hospes tersebut cukup kompeten, namun kenyataannya parasit dapat hidup, tidak saja berhari-hari tetapi juga sampai berbulan-bulan. Berdasarkan fakta-fakta ini, maka akhirnya dari berbagai penelitian yang dilakukan para ahli timbul dua kesimpulan,yaitu:
 (I) mekanisme imunitas tubuh mungkin telah gagal melakukan fungsinya, dan
 (2) parasit mempunyai sifat-sifat atau mekanisme yang sanggup bertahan terhadap penolakan reaksi imunologik, baik oleh sistem humoral maupun oleh system seluler.
Bila semua kemungkinan digabung menjadi satu, maka keadaan-keadaan yang menyebabkan hal-hal tersebut di atas antara lain, ialah :
(a) penyerangan jaringan hospes oleh parasit terbatas, sehingga stimulasi pada sistem imunitas dapatlah dikatakan tidak ada. Keadaan ini seringkali ditemukan pada invasi dengan parasit-parasit cacing usus.
(b) tidak terjangkaunya parasit oleh sistem imunitas tubuh, oleh karena selalu berada di dalam sel-sel hospes. Misalnya hal ini ditemukan pada parasit Plasmodium pada tahap
eksoeritrositik,
(c) parasit-parasit seringkali mempunyai mantel luar ("our-ter") yang merupakan suatu lapisan selaput yang. Identik Dengan keantigenan jaringan hospes. Hal ini sering ditemukan pada cacing dewasa,
(d) di sekitar parasit mungkin timbul pengkapsulan, misalnya seperti yang lazim ditemukan pada parasit jaringan, seperti Trichinella spiralis,
(e) Infeksi hospes oleh parasit berada dalam dosis di bawah ambang rangsang. Keadaan ini terjadi pada infeksi golongan metazoa dimana proses multiplikasi tidak sehebat golongan protozoa, sehingga jumlah antigen asing yang dapat menstimulasi sistem imunitas sedikit.
(f) adanya kemampuan parasit dalam mengubah-ubah komposisi antigen selama menginfeksi hospes, misalnya seperti yang diperlihatkan oleh panasit Schistosoma,
(g) timbulnyapenglepasan komponen antigen baik soluble maupun partikulat dalam jumlah yang besar, sehingga justru menimbulkan respons imuno-toleransi. Hal ini dijumpai, misalnya pada panasit Plasmodium. Selain itu perlu diperhatikan apabila kita memberikan terapi, apakah obat yang dibenikan itu justru tidak akan menyebabkan parasit melepaskan banyak antigen asing sehingga justru menimbulkan reaksi yang tidak diingin kan ini,
(h) timbul suatu antibodi yang justru dapat menjadi "blocking factor" terhadap serangan imunitas seluler, karena antibodi telah menyelubungi parasit. Sel limfosit-T tidak dapat mengenal parasit itu sebagai benda asing, dan keadaan ini dikenal dengan istilah :"humoral control over cellular immunity". Hal ini menyebabkan keuntungan bagi parasit tersebut, misalnya yang ditemukan pada telur parasit Schistosoma,
(i) Kemampuan parasit untuk menghindar dari serangan respons imunitas yang spesifik. Parasit seperti Schistosoma itu dapat hidup bertahun-tahun di dalam hospes terinfeksi,
(j) kapasitas parasit untuk bereplikasi di dalam sel-sel fagosit, seperti sel makrofag walaupun telah tersensitisasi oleh limfokin menjadi "activated macrophageContoh parasit semacam ini ialah Toksoplasma, yang karena adanya fakta semacam itu, maka diduga parasit mempunyai cara pertahanan yang unik terhadap proses "Intracellular killing".

Parasit dan proses imuno-patologi
Bila tubuh kemasukan parasit, baik itu golongan protozoa maupun metozoa, maka infeksi dengan parasit tersebut akan berlanjut menimbulkan penyakit dengan berbagai macam simtom. Keluhan-keluhan obyektif maupun kelainan klinik yang ditimbulkan tergantung dari pada lokalisasi parasit, selama dan sesudah perkembangan siklusnya. Setelah respons imun di dalam tubuh hospes dapat dibangkitkan, maka akan timbul reaksi antara komponen-komponen efektor imunitas dengan komponen-komponen antigen parasit dengan maksud hendak mengenyahkannya. Namun para ahli telah berhasil menemukan bukti-bukti, bahwa kelainan-kelainan yang ditimbulkan karena infeksi dengan parasit ini, seperti splenomegali, hepatomegali, glomerulonefritis, proses peradangan kronik, kerusakan jaringan yang lanjut serta berbagai reaksi hipersensitivitas, bukanlah ulah parasit itu sendiri melainkan akibat mekanisme imunologik tubuh.
Kerusakan jaringan akibat proses imunologik telah lama diketahui, dan Coombs dan Gell (26) telah mengkelasifikasinya ke dalam empat tipe, yaitu :
1. Reaksi tipe I atau reaksi tipe anafilaktik
2. Reaksi tipe II atau reaksi tipe sitotoksik
3. Reaksi tipe III atau reaksi tipe kompleks-toksik
4. Reaksi tipe IV atau reaksi seluler.
Reaksi tipe I hingga III adalah reaksi yang dibawakan oleh imunitas humoral, sedangkan reaksi tipe IV oleh imunitas seluler. Pembicara selanjutnya akan membahas keempat macam tipe reaksi imuno-patologik secara lebih mendalam :

Reaksi tipe I (reaksi anafilaktik)
Reaksi anafilaktik atau reaksi hipersensitivitas tipe cepat adalah suatu reaksi yang dibawakan oleh IgE. Parasit-parasit golongan Helminthes merupakan parasit yang ampuh dalam  menginduksi pembentukan antibodi homositotropik ini. IgE mempunyai sifat-sifat yang unik, yaitu bagian Fc struktur imunoglobulinnya dapat melekat pada sel-sel basofil atau sel-sel mastosit, sehingga apabila bagian Fab berreaksi dengan antigen parasit, maka akan terjadi perubahan molekul IgE yang akan mempengaruhi membran sel basofil/mastosit tadi. Lewat sistem "cyclic Adenosinemonophosphate" (cAMP), maka di dalam sel tersebut akan timbul proses degranulasi sehingga isi granula, seperti histamin, "slow-reacting substance of anaphylactic" (SRS--A), "eosinophil-chemotactic facton anaphylactic" (ECF--A) akan dilepaskan. Zat-zat mediator farmakologik aktif ini kemudian akan  menyebabkan berbagai perubahan, seperti kontraksi otot polos, vasodilatasi pembuluh darah kapiler dan meningginya per meabilitas dinding pembuluh darah. Tergantung daripada cara parasit berinvasi masuk ke dalam tubuh, maka gejala klinik yang ditimbulkan dapat bersifat sistemik atau lokal. Gejala 95 Cermin Dunia Kedokteran, Nomor Khusus 1980 klinik yang mungkin ditemukan pada berbagai sistem organ adalah sebagai berikut :
a) traktus respiratorius : obstruksi bronkial dan edema laryngeal,
b) traktus gastrointestinalis : enek, muntah, kramp, rasa sakit dan diare,
c) traktus kardiovaskuler : hipotensi dan "shock",
d) sistem kulit : gatal, eritema, edema dan erupsi maku lopapular.
Akibat pengaruh ECF--A, maka tidaklah mengherankan kalau pada penyakit parasit ini sering ditemukan eosinofilia, dan secara pemeriksaan histologik, tampak di sekitar panasit itu beratus-natus sel-sel eosinofil. Pada penyakit infeksi oleh bakteri telah ada bukti yang memperlihatkan bahwa sel eosinofil sanggup memfagosit namun mekanisme "Intracellular killing" agak lemah bila dibandingkan dengan sel neutrofil. Oleh karena itu peranan sel eosinofil sebagai sel fagosit yang ampuh masih dipertanyakan orang, namun ada dugaan lain tentang peranan eosinofil ini, yaitu berperanan pada proses pembangkitan respons agar lebih baik serta berperanan dalam memodulasi proses inflamasi. Seperti telah diutarakan, maka sel basofil akan melepaskan histamin, dan ini akan dinetralkan oleh zat-zat yang dilepaskan eosinofil ; di samping itu pula eosinofil akan melepaskan suatu zat yang mempunyai pengaruh tenhadap sel makrofag. Keadaan ini menyebabkan interaksi antara sel eosinofil, sel maknofag dan antigen parasit, sehingga antigen-antigen asing lebih mudah dipnesentasikan oleh sel makrofag ke sel-sel limfosit-T maupun sel limfosit-B.

Reaksi tipe II (reaksi sitotoksik)
Kelainan ini ditimbulkan akibat adanya antibodi bebas, yangdibawakan oleh IgG dan/atau IgM, yang dapat beneaksi dengan antigen sel atau jaringan akibat adanya suatu reaksi silang, atau karena sel atau jaringan tubuh telah mengadsorbsi antigen-antigen tensebut. Hal ini banyak terjadi pada penyakit parasit, dimana antigen telah dilepaskan ke dalam sirkulasi dan diadsorbsi oleh sel atau jaringan tubuh di tempat lain. Reaksi imunologik yang terjadi akan lebih hebat apabila sistem komplemen telah diaktifkan, yang mengakibatkan terangsangnya berbagai macam sel-sel fagosit. Suatu sel atau jaringan tubuh yang telah bereaksi dengan IgG antibodi, dapat menarik suatu sel limfosit yang "nonsensitized" untuk melakukan tugas penghancuran jaringan secara ekstnaselulen nonfagositosis. Sel limfosit semacam ini dikenal dengan istilah "killer lymphocyte cell” atau disingkat menjadi "K cell".
Hancurnya sel-sel darah merah sehingga terjadi anemia pada infeksi dengan Plasmodium diperhebat akibat reaksi tipe II ini, dan juga penggunaan obat-obat yang dapat menghancurkan parasit sehingga antigen-antigennya tersebar di seluruh tubuh, dapat menyebabkan malapetaka akibat reaksi yang ditimbulkan oleh respons imunologik.

Reaksi tipe III (reaksi kompleks-toksik)
Apabila di dalam sirkulasi darah terdapat antigen bebas, maka manifestasi selain neaksi tipe II dapat pula terjadi, yaitu apa yang kita kenal sebagai reaksi kompleks-toksik. Pengertian kompleks dalam hal ini tidak lain adalah kompleks antigen dengan antibodinya yang dapat dibawakan oleh IgG maupun IgM. Kompleks imun ini beredar di dalam darah dalam bentuk kompleks yang larut, yaitu apabila perbandingan antara antigen dengan antibodi berada dalam taraf"antigen excess", sedangkan kompleks berbentuk presipitat, bila perbandingan antigen dengan antibodinya berada dalam taraf "Antibody excess". Reaksi tipe III tenjadi apabila kompleks imun itu telah mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadilah reaksi radang. Tergantung daripada lokasi peradangan itu, maka jenis "Arthus reaction" terjadi bila "insoluble complex" dideposit di tempat-tempat tertentu, sedangkan jenis "serum sickness" bila terjadi reaksi umum disebabkan oleh "soluble complex".
Kelainan yang lebih merata akibat adanya sirkulasi kompleks-imun di seluruh tubuh dapat menyebabkan gejala-gejala klinik seperti, demam, lemas, urtikania, eritema pada kulit, nyeri  bengkak pada persendian, splenomegali, pembesaran kelenjar limfe, hematuria dan lain-lain. Gejala penyakit semacam ini, selain pada malaria, maka di temukan pula pada penyakit parasit seperti Schistosomiasis, Trypanosomiasis. Reaksi alengik umum yang ditimbulkan setelah pemberian terapi pada berbagai penyakit parasit, dapat disebabkan oleh reaksi tipe III ini, yaitu karena setelah parasit dihancurkan oleh obat yang diberikan, maka berbagai macam antigen akan dilepaskan ke dalam sinkulasi dalam jumlah yang cukup banyak; akibatnya maka kompleks-imun akan timbul dan tidak sempat lagi dienyahkan oleh sistem imunitas seluler,  seperti difagosit oleh sel-sel makrofag.

Reaksi tipe IV (reaksi tipe seluler)
Berbeda dengan reaksi tipe-tipe yang terdahulu, maka reaksi tipe IV ini dilatar belakangi oleh sistem imunitas seluler, yaitu sel-sel fagosit setelah dinangsang oleh zat limfokin, yang dilepaskan oleh sel limfosit-T. Reaksi ini tidak memerlukan adanya antibodi maupun sistem komplemen, dan reaksi yang terjadi agak lambat; oleh karena itu reaksi ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat, dan memang gejala kliniknyapun berjalan kronik. Pada penyakit Schistosomiasis misalnya, proses peradangan pada hati dapat penyebabkan hepatomegali. Keadaan semacam ini bukan hanya disebabkan oleh kanena timbulnya reaksi tipe IV ini. Di sekitar telur itubanyak ditemukan sel-sel limfosit serta gnanuloma sel epiteloid. Proses berlangsung tenus hingga terjadi janingan fibrosis dan penyumbatan pembuluh darah vena sehingga timbul hipertensi portal .

Imunodiagnostik pada penyakit parasit
Dengan mempergunakan teknik yang lazim dipakai dalam bidang parasitologi serta pengetahuan tentang siklus suatu parasit telah difahami dengan baik, maka sebenarnya tidak ada kesulitan yang dapat dijumpai dalam menegakkan diagnosis penyakit parasit itu. Namun cara-cara menegakkan diagnosis secara metode yang konvensional, seringkali kita tidak dapat mendeteksi adanya parasit di dalam tubuh pada tahap yang paling dini. Secara miknoskopikpun tidak selamanya kita dapat menemukan parasit yang dimaksud, dan seringkaliterlalu banyak membuang waktu untuk mencari ada-tidaknya parasit di dalam tubuh .
Dengan adanya fakta-fakta ini, maka para Sarjana telah berusaha mengembangkan pengetahuan imunologik dalam bidang parasitologi untuk kepentingan diagnostik. Bagaimanapun bentuk dan akibat respons imunitas yang terjadi, seperti yang diutarakan, maka ada sifat-sifat sistem imunologik yang hakiki, yaitu "specificity" dan "memory", artinya : respons imunologik yang timbul itu sifatnya spesifik dan hanya dapat bereaksi dengan antigen penginduksinya serta mempunyai daya ingat terhadap antigen mana respons imun itu telah bangkit. Dua hal inilah yang dijadikan pegangan oleh para ahli imunologi dalam mempergunakan respons imunologik untuk mendiagnosis penyakit-penyakit parasit.

Secara garis besar, maka ada dua macam teknik yang dapat dikembangkan, yaitu
(1)       teknik manipulasi kulit dan
 (2)      Menegakkan diagnosis penyakit parasit secara imunologik
 walaupun telah berhasil, namun seringkali kita dihadapkan dengan berbagai masalah, baik yang sifatnya umum maupun yang khusus. Masalah yang khusus ialah menyangkut sifat dan karakteristik parasit yang bersangkutan, terutama dalam menginduksi respons imun. Berbagai macam teknik imunologik juga banyak tersedia, seperti : test presipitasi, test hemaglutinasi, test fiksasi komplemen, test fluonesensi dan lain-lain, tetapi semuanya tidak terlepas dari masalah-masalah yang khusus untuk teknik tersebut, dan yang penting ialah : pemilihan teknik serologik yang tepat untuk dipergunakan dalam mendiagnosis penyakit parasit yang mana.
Bila kita hendak membuktikan adanya respons imun terhadap suatu parasit, maka masalah umum yang perlu dihadapi, ialah: antigen mana dan apa yang akan kita pakai. Apakah antigen yang dipakai itulah yang menyebabkan timbulnya respons imun di dalam tubuh, apakah antigen yang dipergunakan betul-betul spesifik untuk parasit yang dimaksud dan bukan antigen yang menimbulkan reaksi silang, apakah antigen yang dipergunakan hanya berhubungan dengan imunitas seluler, sedangkan teknik yang dipergunakan ialah untuk mendeteksi ada-tidaknya antibodi didalam sirkulasi darah, dan lain-lain pertanyaan yang harus dihadapi. Sebaliknya bila kita hendak membuktikan ada tidaknya antigen, maka masalah umum yang perlu dihadapi ialah : antibodi yang mana yang harus dipergunakan untuk dapat mendeteksi antigen, dan bagaimana cara-cara mempurifikasi antibodi sehingga dapat dipergunakan dalam test serologik yang dimaksud. Cara yang kedua ini lebih sulit dilakukan daripada cara yang pertama, dan cara serologic lebih aman dilakukan daripada cara intradermal.

3 komentar: