Kritik dan Saran silahkan kirim pesan ke" bayz.pabayo@gmail.com "

Tuberkulosis Ekstrapulmonal ( Pleuritis Tuberkulosis, Meningitis tuberkulosis, Tuberkulosis Limfonodi, dan Tuberkulosis Tulang )



Tuberkulosis Ekstrapulmonal dibagi atas beberapa bagian, diantaranya:

1.   Pleuritis Tuberkulosis
Pleuritis TB dapat merupakan manifestasi dari tuberkulosis primer atau tuberkulosis post primer. Secara tradisional, pleuritis TB dianggap sebagai manifestasi TB primer yang banyak terjadi pada anak-anak. Pada tahun-tahun terakhir ini, umur rata-rata pasien dengan Pleuritis TB primer telah meningkat. Hipotesis terbaru mengenai Pleuritis TB primer menyatakan bahwa pada 6-12 minggu setelah infeksi primer terjadi pecahnya fokus kaseosa subpleura ke kavitas pleura. Antigen mikobakterium TB memasuki kavitas pleura dan berinteraksi dengan Sel T yang sebelumnya telah tersensitisasi mikobakteria, hal ini berakibat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang menyebabkan terjadinya eksudasi oleh karena meningkatnya permeabilitas dan menurunnya klirens sehingga terjadi akumulasi cairan di kavitas pleura. Cairan efusi ini secara umum adalah eksudat tapi dapat juga berupa serosanguineous dan biasanya mengandung sedikit basil TB. Beberapa kriteria yang mengarah ke Pleuritis TB primer :
(i).   Adanya data tes PPD positif baru,
(ii). Rontgen thorax dalam satu tahun terakhir tidak menunjukkan adanya kejadian  tuberkolosis parenkim paru,
(iii). Adenopati Hilus dengan atau tanpa penyakit parenkim. Umumnya, efusi yang terjadi pada Pleuritis TB primer berlangsung tanpa diketahui dan proses penyembuhan spontan terjadi pada 90% kasus.
Pleuritis TB dapat berasal dari reaktivasi atau TB post primer. Reaktivasi dapat terjadi jika stasus imunitas pasien turun. Pada kasus Pleuritis TB reaktivasi, dapat dideteksi TB parenkim paru secara radiografi dengan CT scan pada kebanyakan pasien. Infiltrasi dapat terlihat pada lobus superior atau segmen superior dari lobus inferior. Bekas lesi parenkim dapat ditemukan pada lobus superior, hal inilah yang khas pada TB reaktivasi. Efusi yang terjadi hampir umumnya ipsilateral dari infiltrat dan merupakan tanda adanya TB parenkim yang aktif.
Efusi pada pleuritis TB dapat juga terjadi sebagai akibat penyebaran basil TB secara langsung dari lesi kavitas paru, dari aliran darah dan sistem limfatik pada TB post primer (reaktivasi). Penyebaran hematogen terjadi pada TB milier. Efusi pleura terjadi 10-30% dari kasus TB miler. Pada TB miler, efusi yang terjadi dapat masif dan bilateral. PPD test dapat negatif dan hasil pemerikasaan sputum biasanya juga negatif.

Gambaran Klinis dan Sekuele
Gambaran klinis dari Pleuritis TB yang paling sering dilaporkan adalah batuk (71-94%), demam (71-100%), nyeri dada pleuritik (78-82%) dan dispneu. Batuk yang terjadi biasanya nonproduktif terutama ketika tidak terdapat lesi paru aktif. Keringat malam, sensasi mengigil, dyspneu, malaise, dan penurunan berat badan merupakan keluhan umum. Demam dan nyeri dada umumnya terdapat pada pasien muda, sedangkan batuk dan dyspneu umumnya pada pasien yang lebih tua. Durasi rata-rata dari gejala penyakit sekitar 14 hari pada pleuritis TB primer dan 60 hari pada pleuritis TB reaktivasi.
Pasien dengan TB efusi pleura dan HIV bergejala dalam periode yang lebih lama dan mempunyai gejala tambahan seperti takipneu, keringat malam hari, malaise, diare, dan mempunyai kemungkinan lebih banyak terjadi hepatomegali, splenomegali dan limfadenopati. Hasil tes PPD negatif dilaporkan pada 30% pasien immunokompetan, dan lebih dari 50% pada pasien terinfeksi HIV. Pemeriksaan fisik ditemukan berkurangnya suara nafas dan perkusi pekak diatas tempat efusi.
Pada keadaan tidak diberikannya obat anti tuberkulosis, resolusi dari efusi yang terjadi pada pleuritis TB biasanya spontan dalam beberapa bulan. Akan tetapi, setengah dari kasus yang tidak diterapi akan berkembang menjadi bentuk tuberkulosis paru dan ekstra paru yang lebih berat yang dapat berakibat pada kecacatan dan kematian. Sekule lain pada pleuritis TB primer adalah terjadinya sisa penebalan pleura yang potensial menyebabkan pembatasan ventilasi. Infeksi kronik aktif dapat mengawali berkembangnya tuberkulosa empyema. Pecahnya kavitas parenkim ke ruang pleura dapat berkembang menjadi fistula bronkhopleural dan pyo-pnemothoraks.

Metode Diagnosis
Diagnosis dari Pleuritis TB secara umum ditegakkan dengan analisis cairan pleura dan biopsi pleura. Pada tahun-tahun terakhir ini, beberapa penelitian meneliti adanya penanda biokimia seperti ADA, ADA isoenzim, Lisozim,  dan limfokin lain untuk meningkatkan efisiensi diagnosis.
Hasil thorakosintesis efusi pleura dari Pleuritis TB primer mempunyai karakteristik cairan eksudat dengan total kandungan protein pada cairan pleura >30g/dL, rasio LDH cairan pleura dibanding serum > 0,5 dan LDH total cairan pleura >200U. Cairan pleura mengandung dominan limfosit (sering lebih dari 75% dari semua materi seluler), sering dikiuti dengan kadar glukosa yang rendah. Sayangnya, dari kharakteristik diatas tidak ada yang spesifik untuk tuberkulosis, keadaan lain juga menunjukkan kharakteristik yang hampir mirip seperti efusi parapnemonia, keganasan, dan penyakit rheumatoid yang menyerang pleura. Hasil pemeriksaan BTA cairan pleura jarang menunjukkan hasil positif (0-1%). Isolasi M.tuberculosis dari kultur cairan pleura hanya didapatkan pada 20-40% pasien Pleuritis TB. Hasil pemeriksaan BTA dan kultur yang negatif dari cairan pleura tidak mengekslusi kemungkinan Pleuritis TB.
Hasil pemeriksaan BTA pada sputum jarang positif pada kasus primer dan kultur menunjukkan hasil positif hanya pada 25-33% pasien. Sebaliknya, pada kasus reaktivasi pemeriksaan BTA sputum positif pada 50% pasien dan kultur positif pada 60% pasien.
Hasil tes tuberkulin yang positif mendukung penegakkan diagnosis pleuritis TB di daerah dengan prevalensi TB yang rendah (atau tidak divaksinasi), akan tetapi hasil tes tuberkulin negatif dapat terjadi pada sepertiga pasien.
Biopsi pleura parietal telah menjadi tes diagnositik yang paling sensitif untuk Pleuritis TB. Pemeriksaan histopatologis jaringan pleura menunjukkan peradangan granulomatosa, nekrosis kaseosa, dan BTA positif. Hasil biopsi perlu diperiksa secara PA, pewarnaan BTA dan kultur.
Beberapa penelitian meneliti aktivitas ADA (adenosin deaminase) untuk mendiagnosis Pleuritis TB. Disebutkan bahwa kadar ADA > 70 IU/L dalam cairan pleura sangat menyokong ke arah TB, sedangkan kadar < 40 IU/L mengekslusi diagnosis. Sebuah meta analisis dari 40 penelitian yang diterbitkan sejak tahun 1966 sampai 1999 menyimpulkan bahwa tes aktivitas ADA (sensitivitas berkisar antara 47,1 sampai 100% dan spesifitas berkisar antara 0-100%) dalam mendiagnosis Pleuritis TB sangat baik (cukup baik untuk menghindari dilakukannya biopsi pleura pada pasien muda dari daerah dengan prevalensi TB yang tinggi).
dINF- sebuah sitokin yang mempunyai hubungan dengan Th, terbukti mempunyai hubungan yang erat dengan efusi pleura yang disebabkan oleh karena TB.  (menggunakan cut off point 140 pg/mld. Pada sebuah penelitian, INF- dalam cairan pleura) mempunyai sensitivitas 85,7% dan spesifitas 97,1% pada pasien dengan pleuritis TB.
Pemeriksaan dengan PCR (polymerase chain reaction) didasarkan pada amplifikasi fragmen DNA mikobakterium. Karena efusi pada pleuritis TB mengandung sedikit basil TB, secara teori sensitivitasnya dapat ditingkatkan mengunakan PCR. Banyak penelitian yang mengevaluasi efikasi PCR untuk mendiagnosis pleuritis TB dan menunjukkan bahwa sensitivitas berkisar antara 20-90% dan spesifitas antara 78-100%.

2.   Meningitis tuberkulosis
Meningitis Tuberkulosa tidak dapat di diagnosa hanya berdasarkan anamnesis dan
gambaran klinis saja. Pada kasus meningitis tuberkulosa anak adanya riwayat paparan
terhadap tuberkulosa sangat membantu diagnosa. Peranan foto toraks sangatlah penting
pada pendekatan diagnosis meningitis tuberkulosa.
Diagnosis pasti meningitis tuberkulosa didasarkan pada isolasi Mycobacterium tuberculosis pada cairan serebrospinal, namun kultur tersebut membtuhkan waktu lama dan tidak sensitive. Pemeriksaan pewarnaan Ziehl Neelsen untuk basil tahan asam merupakan pemlihan untuk pemeriksaan yang cepat, namun tehnik ini tidak sensitive.


Gejala dan tanda meningitis tuberculosa dapat dibagi menjadi 3 fase :
1.      Fase Prodormal:
a.       Berlangsung selama 2 – 3 minggu
b.      Gejala:
                                                            i.      malaise
                                                           ii.      Cephalgia
                                                          iii.      Demam tidak Tinggi
                                                          iv.      Perubahan kepribadian 
2.      Fase meningitik:
a.       Tanda neurologis lebih nyata:
                                                            i.      Meningismus
                                                           ii.      Cephalgia hebat
                                                          iii.      Muntah
                                                          iv.      Kebingungan
                                                           v.      Cranial Nerve Syndrome
3.      Fase paralitik:
a.       Merupakan fase percepatan penyakit
b.      Gejala kebingungan berlanjut menjadi stupor dan koma, kejang, hemiparesis.
Diagnosis meningitis tuberculosa tidak mudah. Perlu kewaspadaan tinggi kearah kemungkinan meningitis tuberculosa bila didapatkan tanda-tanda kelainan neurologis dan tuberculosis millier. Maka bila didapatkan tanda-tanda SSP berupa rangsang meningeal dan bila ditemukan tuberculosis millier harus dilakukan pungsi lumbal untuk deteksi dini tuberculosis.
Pemeriksaan apusan langsung untuk menemukan BTA dan biakan dari CSS sangat penting. Untuk mendapatkan hasil positif dianjurkan melakukan pungsi lumbal selama 3 hari berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil pemeriksaan pungsi lumbal ke-2 dan ke-3. Cairan serebrospinal memberikan gambaran khas berupa peningkatan kadar protein dan penurunan kadar glukosa, serta pleositosis mononuclear dengan hitung sel antara 100-500 sel/ml.
Gambaran dari pemeriksaan CT scan dan magnetic resonance imaging (MRI) kepala pada pasien meningitis tuberculosis adalah normal pada awal penyakit. Seiring berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah penyangatan didaerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberculoma yang silent, yang biasanya didaerah cortex cerebri atau thalamus.
Terapi segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis kearah meningitis tuberculosa. Terapi tuberculosa sesuai dengan konsep baku, yaitu 2 bulan fase intensive dengan 4-5 OAT (isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomycin, dan etambutol), dilanjutkkan dengan 2 OAT(isoniazid dan rifampisin) hingga 12 bulan. Bukti klinis mendukung pnggunaan steroid sebagai terapi adjuvant. Steroid yang dipakai adalah prednisone 1-2 mg/kgBB/hari selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tapering off) selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya regimen. Pada bulan pertama pasien harus tirah baring total.
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahap klinis semakin buruk prognosisnya. Adanya hidrosefalus disertai penyangatan (enhancement) daerah basal pada pemeriksaan CT scan menunjukkan tahap lanjut penyakit dengan progmosis yang  buruk.

3.Tuberkulosis Limfonodi ( Tuberkulosis Kelenjar )
Tuberkulosis limfonodi superficial (scrofula) merupakan bentuk tuberkulosis ekstrapulmonal yang paling sering pada anak yang biasanya disebabkan karena minum susu yang tidak dipasteurisasi yang mengandung M. bovis. Kebanyakan kasus terjadi dalam 6-9 bulan infeksi awal oleh M. tuberkulosis, walaupun beberapa kasus tanpa bertahun-tahun. Limfonodi yang terinfeksi pada inguinal, epitrokhanter atau daerah aksiler akibat dari limfadenitis regional dihubungkan dengan tuberkulosis kulit atau system skeleton.

Patofisiologi
Limfonodi biasanya membesar perlahan-lahan pada awal stadium penyakit limfonodi. Limfonodi ini tetap tetapi tidak keras, tersendiri, dan tidak nyeri. Limfonodi sering terasa difiksasi pada jaringan dibawahnya atau yang menumpanginya. Penyakit paling sering unilateral, tetapi keterlibatan bilateral dapat terjadi karena perpindahan pola drainase pembuluh limpa pada dada dan leher bagian bawah.

Gejala klinis
Bila infeksi memburuk banyak nodus yang terinfeksi. Tanda-tanda dan gejala sistemik selain demam ringan biasanya tidak ada. Mulainya sakit kadang-kadang lebih akut dengan pembesaran limfonodi yang cepat, demam tinggi, nyeri dan berubah-ubah.

4.     Tuberkulosis Tulang
Penyakit ini tidak pernah primer, selalu sekunder terhadap fokus tuberculosis ditempat lain. Tuberculosis pada tulang paling banyak ditemukan ditulang panjang bagian metafisis dan di trockhanter major. Tuberkulosis tulang tersering pada vertebra ( spondilitis TB ), diikuti oleh sendi panggul ( koksitis TB ) dan sendi lutut ( gonitis TB ).

Tambahan Lihat:

  1. TUBERKULOSIS ( TBC ) I
  2. Tuberkulosis Pulmonal ( TB Pulmonal )
  3. TUBERKULOSIS ( TBC ) II

Tidak ada komentar:

Posting Komentar